Ruang yang Sering Kita Lupakan
Kita berjalan melewati trotoar setiap hari, duduk sejenak di halte, mungkin mampir ke taman kecil dekat rumah. Tapi seberapa sering kita benar-benar melihat ruang-ruang itu sebagai bagian dari hidup bersama?
Di banyak kota, ruang publik masih dipandang sebatas jalur pergerakan: tempat kita lewat, bukan tempat kita tinggal. Padahal, ruang publik seharusnya menjadi ruang ketiga—tempat di mana kita bisa merasa terhubung, tanpa harus membeli atau menjadi siapa-siapa.
Lebih dari Sekadar Infrastruktur
Ruang publik yang baik bukan hanya tentang bangku yang rapi atau lampu jalan yang terang. Itu penting, tentu. Tapi lebih penting dari itu adalah:
- Apakah semua orang merasa aman di sana?
- Apakah ruang itu menyambut, atau justru menyingkirkan?
- Apakah ruang itu membangun interaksi, atau malah membatasi?
Desain ruang publik harus dimulai dari pertanyaan-pertanyaan sosial, bukan hanya teknis.
Ruang adalah Cermin Masyarakat
Kita bisa melihat nilai-nilai masyarakat lewat ruang publiknya. Apakah kotanya ramah pejalan kaki? Apakah anak-anak punya ruang bermain yang aman? Apakah orang tua bisa duduk dan berbincang tanpa diusir?
Ruang publik mencerminkan siapa yang dianggap penting, dan siapa yang diabaikan.
Ruang yang Hidup Butuh Warga yang Terlibat
Di Ruang Ketiga, kami percaya bahwa ruang yang hidup bukan ruang yang dibangun, tapi ruang yang diisi.
Duduk, berbicara, bermain, beraktivitas, bahkan sekadar hadir—itulah yang membuat ruang jadi hidup.
Dan ruang yang hidup lahir dari partisipasi. Bukan dari proyek besar, tapi dari keberanian kecil untuk hadir, mendengar, dan ikut merawat bersama.
Mari Ubah Cara Kita Melihat Ruang
Ruang publik bukan sekadar tempat transit. Ia bisa jadi tempat pulang.
Bukan sekadar tempat kita melewati orang lain, tapi tempat kita saling mengenal.
Mari kita ubah cara kita melihat ruang—dan pada akhirnya, cara kita memperlakukan satu sama lain.